Kecemasan Siswa Berkebutuhan
Khusus
oleh: Trio Wandoyo (2017082038)
Siswa dengan kebutuhan khusus memiliki kepribadian yang relatif lebih sensitif dibandingkan dengan siswa normal. Mereka membutuhkan perhatian dan perawatan khusus. Namun, dalam hal kehidupan sehari-hari, siswa dengan kebutuhan khusus hidup di lingkungan sosial dan bersosialisasi dengan orang lain seperti siswa normal. Kecemasan sering terjadi pada siswa dengan kebutuhan khusus saat bersosialisasi. Hingga saat ini, kecemasan pada siswa dengan kebutuhan khusus sulit untuk dicatat dengan baik karena instrumen penilaian terbatas. Langkah-langkah yang salah untuk mendeteksi kecemasan pada Siswa dengan kebutuhan khusus dapat mengganggu proses sosialisasi mereka.
Siswa dengan kebutuhan khusus adalah
siswa dengan karakteristik mental, sosial, emosional, atau fisik yang secara
khusus berbeda dari siswa normal (Lakshita, 2017: 7). Siswa berkebutuhan khusus
diklasifikasikan ke dalam beberapa kategori yaitu: siswa dengan visual
gangguan, siswa dengan gangguan pendengaran, siswa dengan gangguan bicara,
siswa dengan cacat intelektual, siswa dengan gangguan fisik, siswa dengan
gangguan emosional dan sosial, dan siswa berbakat. Setiap siswa yang jatuh di
bawah masing-masing kategori memiliki tingkat kecemasan sosial mereka sendiri
bersama dengan karakteristiknya.
Kecemasan adalah respons emosional terhadap pandangan yang dirasakan, menunjukkan perasaan takut, gugup, dan tidak aman disertai dengan berbagai respons fisik. Ini dapat terjadi dalam berbagai konteks situasi atau karena penyakit. Selain itu, dapat memicu reaksi fisik berulang seperti sakit perut, sesak napas, palpitasi jantung, berkeringat, pusing, dan keinginan mendadak untuk buang air kecil atau buang air besar. Reaksi-reaksi ini sering diikuti oleh dorongan untuk melepaskan diri dari sumber kecemasan (Stuart dan Sundeen, 1998).
Kecemasan adalah tanda-tanda dan
reaksi nonspesifik yang dihasilkan dari aktivitas sistem saraf otonom atas
ketidakpastian, tidak spesifik, serta sering ditemukan ancaman, dan biasanya
merupakan respons emosional normal (Carpenito, 2000).
Freud
(Calvin S. Hall, 1993) mengidentifikasi tiga jenis kecemasan yaitu: kecemasan
realistis, yang didefinisikan sebagai ketakutan akan ancaman atau bahaya dari
dunia nyata atau lingkungan. Kecemasan neurotik, yang didefinisikan sebagai
ketakutan insting atau dorongan bawah sadar yang dapat menyebabkan hukuman.
Ketakutan bukan dari naluri melainkan hukuman yang ditimbulkan oleh naluri
seperti itu dalam hal bahwa mereka ditindaklanjuti. Kecemasan ini berkembang
karena pengalaman masa kecil ancaman dan hukuman yang diterima dari orang tua
atau orang dengan otoritas ketika subjek bertindak impulsif. Kecemasan moral,
didefinisikan sebagai ketakutan melanggar kode moral (superego). Orang-orang dengan
superego yang baik cenderung merasa bersalah atau malu ketika mereka bertindak
atau berpikir bertentangan dengan kode moral mereka. Mirip dengan kecemasan
neurotik, jenis kecemasan ini dikembangkan karena pengalaman masa kecil ancaman
dan hukuman yang diterima dari orang tua atau orang dengan otoritas ketika
subjek melanggar norma-norma.
Kecemasan dapat terjadi pada siapa saja, termasuk kepada siswa
di sekolah. Siswa dapat mengalami kecemasan yang realistis, neurotik, atau
moral. Kondisinya adalah proses psikologis. Oleh karena itu, untuk menentukan
apakah seorang siswa menderita kegelisahan, pemeriksaan menyeluruh terhadap
gejala atau tanda-tanda serta faktor-faktor risiko harus dilakukan. Namun,
perlu dicatat bahwa gejala yang jelas hanyalah bagian dari masalah yang
sebenarnya. Mereka adalah puncak gunung es; ada masalah yang lebih besar dan
lebih kompleks di bawah permukaan.
Referensi
Lakshita, Nattaya. 2012. Belajar Bahasa Isyarat untuk Anak Tunarungu (Dasar). Yogyakarta: Javalitera
Setiawan, A, & Widi Astuti (2018), Development
of Children’s Anxiety Test Special Needs, 2018. p. 91-93, Prosiding Seminar
Internasional UST 2018, Yogyakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar