Tingkat Kecemasan
Anak dengan Kebutuhan Khusus
Oleh : Mujiyono
Siswa dengan kebutuhan khusus
memiliki kepribadian yang relatif lebih sensitif dibandingkan dengan siswa
normal. Kecemasan sering terjadi pada siswa dengan kebutuhan khusus saat
bersosialisasi. Kecemasan pada siswa dengan kebutuhan khusus sulit untuk dicatat
dengan baik karena instrumen penilaian terbatas. Langkah-langkah yang salah
untuk mendeteksi kecemasan pada Siswa dengan kebutuhan khusus dapat mengganggu
proses sosialisasi mereka.
Siswa dengan kebutuhan khusus adalah
siswa dengan karakteristik mental, sosial, emosional, atau fisik yang secara
khusus berbeda dari siswa normal (Lakshita, 2017: 7). Siswa berkebutuhan khusus
diklasifikasikan ke dalam beberapa kategori yaitu: siswa dengan visual
gangguan, siswa dengan gangguan pendengaran, siswa dengan gangguan bicara,
siswa dengan cacat intelektual, siswa dengan gangguan fisik, siswa dengan
gangguan emosional dan sosial, dan siswa berbakat.
Siswa dengan gangguan penglihatan
cenderung lebih waspada di tempat-tempat ramai karena kurangnya penglihatan
mereka. Mereka menjadi gugup ketika menemukan orientasi dan bergerak di
lingkungan baru. Sehingga mereka mencoba untuk melihat lingkungan mereka
mengoptimalkan pendengaran dan / atau kemampuan menyentuh mereka di sekitar
mereka.
Siswa dengan gangguan pendengaran
adalah mereka dengan kesulitan dalam memahami percakapan normal meskipun
menggunakan alat bantu dengar (Garnida, 2017: 8). Siswa dengan kondisi seperti
itu cenderung salah paham pesan yang disampaikan dalam komunikasi sehingga
mereka mengembangkan perasaan yang sangat sensitif pada lawan bicaranya.
Siswa dengan gangguan intelektual
mengalami masalah dalam perkembangan mental. Usia kronologis mereka tidak
sesuai dengan kematangan mental mereka. Kondisi seperti itu secara signifikan
mempengaruhi kehidupan pribadi dan sosial mereka. Oleh karena itu, mereka
cenderung kurang minat untuk berinteraksi sosial dan tidak responsif serta
tergantung ketika bersosialisasi dengan orang lain.
Stuart dan Sundeen (1998)
mendefinisikan kecemasan adalah respons emosional terhadap pandangan yang
dirasakan, menunjukkan perasaan takut, gugup, dan tidak aman disertai dengan
berbagai respons fisik. Kecemasan dapat memicu reaksi fisik berulang seperti
sakit perut, sesak napas, palpitasi jantung, berkeringat, pusing, dan keinginan
mendadak untuk buang air kecil atau buang air besar. Reaksi-reaksi ini sering
diikuti oleh dorongan untuk melepaskan diri dari sumber kecemasan.
Sedangkan
menurut Carpenito, 2000, kecemasan adalah tanda-tanda dan reaksi nonspesifik
yang dihasilkan dari aktivitas sistem saraf otonom atas ketidakpastian, tidak
spesifik, serta sering ditemukan ancaman, dan biasanya merupakan respons
emosional normal.
Sebuah
penelitian menunjukkan bahwa kecemasan berhubungan negatif dengan hasil
akademik siswa. Secara emosional, kecemasan dapat menyebabkan ketakutan,
kemarahan, dan / atau kekecewaan yang berlebihan atau ekstrim, yang menyebabkan
depresi, tangisan, atau tawa yang tak terkendali serta keputusasaan. Dalam hal
perilaku, kecemasan menyebabkan kekhawatiran, mondar-mandir, penyalahgunaan
zat, dan penggunaan bahasa kasar. Padahal, dalam aspek kognitif, kecemasan bisa
mengarah pada pikiran kosong, kesulitan berkonsentrasi, bicara-diri negatif,
takut, tindakan membandingkan diri dengan orang lain, dan kesulitan mengendalikan
pikiran.
Freud (Calvin S. Hall, 1993)
mengidentifikasi tiga jenis kecemasan yaitu: kecemasan realistis, yang
didefinisikan sebagai ketakutan akan ancaman atau bahaya dari dunia nyata atau
lingkungan. Kecemasan neurotik, yang didefinisikan sebagai ketakutan insting
atau dorongan bawah sadar yang dapat menyebabkan hukuman. Kecemasan ini
berkembang karena pengalaman masa kecil ancaman dan hukuman yang diterima dari
orang tua atau orang dengan otoritas ketika subjek bertindak impulsif.
Kecemasan moral, didefinisikan sebagai ketakutan melanggar kode moral
(superego). Selanjutnya, ada jenis kecemasan lain yang disebut kecemasan
traumatis.
Kecemasan dapat terjadi pada siapa
saja, termasuk kepada siswa di sekolah. Oleh karena itu, untuk menentukan
apakah seorang siswa menderita kegelisahan, pemeriksaan menyeluruh terhadap
gejala atau tanda-tanda serta faktor-faktor risiko harus dilakukan. Namun,
perlu dicatat bahwa gejala yang jelas hanyalah bagian dari masalah yang
sebenarnya. Mereka adalah puncak gunung es; ada masalah yang lebih besar dan
lebih kompleks di bawah permukaan.
Dari
penjelasan yang telah dikemukakan di atas, maka penulis menyimpulkan bahwa
siswa dengan kebutuhan khusus adalah siswa dengan karakteristik mental, sosial,
emosional, atau fisik yang secara khusus berbeda dari siswa normal. Sedangkan kecemasan adalah respons emosional
terhadap pandangan yang dirasakan, menunjukkan perasaan takut, gugup, dan tidak
aman disertai dengan berbagai respons fisik. Kecemasan ini berkembang karena
pengalaman masa kecil ancaman dan hukuman yang diterima dari orang tua atau
orang dengan otoritas ketika subjek bertindak impulsive.
Kekhususan
yang dimiliki oleh anak-anak seharusnya tidak menjadi batasan bagi mereka untuk
mengembangkan bakat dan potensi. Karena itu, memperhatikan perkembangan dan
pendidikan bagi Anak Berkebutuhan Khusus menjadi urusan yang penting, terutama
bagi orang tua. Di Indonesia, lebih dari satu juta ABK tidak mengenyam
pendidikan di sekolah (Data Badan Pusat Statistik, 2016). Hal ini semakin
mengukuhkan peran penting orang tua untuk membantu ABK mengembangkan potensi
ABK tanpa dibatasi oleh kekhususan yang dimiliki anak. Salah satu langkah
pertama yang dapat dilakukan oleh orang tua ABK adalah identifikasi kekhususan
dan kebutuhan anak. Dengan memahami kondisi anak, orang tua dapat memberikan
perawatan yang tepat dan menjadi jembatan bagi ABK untuk mengoptimalkan potensi
diri
Daftar
Pustaka
Group, Inc.
Anastasi, Anne & Urbina, Susana. (2007). Psychological testing, terjemahan
Robertus HarionoS. Imam, Tes psikologi. Jakarta: Indeks.
Garnida, Dadang.
2017. Modul Pembinaan
Karier Guru Tunagrahita
Kelompok Kompetensi A, Pedagogik: Karakteristik Anak Berkebutuhan Khusus
Profesional: Konsep Dasar Program
Pengembangan Diri Anak
Tunagrahita. Bandung: PPPPTK TK
dan PLB Bandung.
Lakshita, Nattaya.
2012. Belajar Bahasa
Isyarat untuk Anak
Tunarungu (Dasar). Yogyakarta:
Javalitera
Mccoach, D. B,
dkk. (2013). Instrument development in
the affective domain.
New York : Springer.
Setiawan, A, &
Astuti W, Development of Children's Anxiety Test Special Needs, Proceeding
International Seminar on Education, UST 2018, Yogyakarta.
Setiawan, A, &
Fadil, Identifikasi Nilai-Nilai Sikap Sosial Pada Pembelajaran Tematik Sekolah
Dasar, Prosiding Kongres HEPI 2017, Kalimantan Selatan: Banjarmasin
Setiawan, A, &
Mardapi, D, The Development Of Instrument For Assessing Students’ Affective
Domain Using Self- And Peer-Assessment Models, Prosiding Kongres HEPI 2017,
Kalimantan Selatan: Banjarmasin
Setiawan, A, &
Mardapi, D, The Development Of Instrument For Assessing Students’ Affective
Domain Using Self- And Peer-Assessment Models, Prosiding Seminar Internasional
UST 2017, Yongyakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar