Rabu, 02 Januari 2019

Rev 2 Mujiyono Tingkat Kecemasan Anak dengan Kebutuhan Khusus


Tingkat Kecemasan Anak dengan Kebutuhan Khusus
Oleh : Mujiyono


            Siswa dengan kebutuhan khusus memiliki kepribadian yang relatif lebih sensitif dibandingkan dengan siswa normal. Kecemasan sering terjadi pada siswa dengan kebutuhan khusus saat bersosialisasi. Kecemasan pada siswa dengan kebutuhan khusus sulit untuk dicatat dengan baik karena instrumen penilaian terbatas. Langkah-langkah yang salah untuk mendeteksi kecemasan pada Siswa dengan kebutuhan khusus dapat mengganggu proses sosialisasi mereka.
            Siswa dengan kebutuhan khusus adalah siswa dengan karakteristik mental, sosial, emosional, atau fisik yang secara khusus berbeda dari siswa normal (Lakshita, 2017: 7). Siswa berkebutuhan khusus diklasifikasikan ke dalam beberapa kategori yaitu: siswa dengan visual gangguan, siswa dengan gangguan pendengaran, siswa dengan gangguan bicara, siswa dengan cacat intelektual, siswa dengan gangguan fisik, siswa dengan gangguan emosional dan sosial, dan siswa berbakat.
            Siswa dengan gangguan penglihatan cenderung lebih waspada di tempat-tempat ramai karena kurangnya penglihatan mereka. Mereka menjadi gugup ketika menemukan orientasi dan bergerak di lingkungan baru. Sehingga mereka mencoba untuk melihat lingkungan mereka mengoptimalkan pendengaran dan / atau kemampuan menyentuh mereka di sekitar mereka.
            Siswa dengan gangguan pendengaran adalah mereka dengan kesulitan dalam memahami percakapan normal meskipun menggunakan alat bantu dengar (Garnida, 2017: 8). Siswa dengan kondisi seperti itu cenderung salah paham pesan yang disampaikan dalam komunikasi sehingga mereka mengembangkan perasaan yang sangat sensitif pada lawan bicaranya.
            Siswa dengan gangguan intelektual mengalami masalah dalam perkembangan mental. Usia kronologis mereka tidak sesuai dengan kematangan mental mereka. Kondisi seperti itu secara signifikan mempengaruhi kehidupan pribadi dan sosial mereka. Oleh karena itu, mereka cenderung kurang minat untuk berinteraksi sosial dan tidak responsif serta tergantung ketika bersosialisasi dengan orang lain.
            Stuart dan Sundeen (1998) mendefinisikan kecemasan adalah respons emosional terhadap pandangan yang dirasakan, menunjukkan perasaan takut, gugup, dan tidak aman disertai dengan berbagai respons fisik. Kecemasan dapat memicu reaksi fisik berulang seperti sakit perut, sesak napas, palpitasi jantung, berkeringat, pusing, dan keinginan mendadak untuk buang air kecil atau buang air besar. Reaksi-reaksi ini sering diikuti oleh dorongan untuk melepaskan diri dari sumber kecemasan.
Sedangkan menurut Carpenito, 2000, kecemasan adalah tanda-tanda dan reaksi nonspesifik yang dihasilkan dari aktivitas sistem saraf otonom atas ketidakpastian, tidak spesifik, serta sering ditemukan ancaman, dan biasanya merupakan respons emosional normal.
Sebuah penelitian menunjukkan bahwa kecemasan berhubungan negatif dengan hasil akademik siswa. Secara emosional, kecemasan dapat menyebabkan ketakutan, kemarahan, dan / atau kekecewaan yang berlebihan atau ekstrim, yang menyebabkan depresi, tangisan, atau tawa yang tak terkendali serta keputusasaan. Dalam hal perilaku, kecemasan menyebabkan kekhawatiran, mondar-mandir, penyalahgunaan zat, dan penggunaan bahasa kasar. Padahal, dalam aspek kognitif, kecemasan bisa mengarah pada pikiran kosong, kesulitan berkonsentrasi, bicara-diri negatif, takut, tindakan membandingkan diri dengan orang lain, dan kesulitan mengendalikan pikiran.
            Freud (Calvin S. Hall, 1993) mengidentifikasi tiga jenis kecemasan yaitu: kecemasan realistis, yang didefinisikan sebagai ketakutan akan ancaman atau bahaya dari dunia nyata atau lingkungan. Kecemasan neurotik, yang didefinisikan sebagai ketakutan insting atau dorongan bawah sadar yang dapat menyebabkan hukuman. Kecemasan ini berkembang karena pengalaman masa kecil ancaman dan hukuman yang diterima dari orang tua atau orang dengan otoritas ketika subjek bertindak impulsif. Kecemasan moral, didefinisikan sebagai ketakutan melanggar kode moral (superego). Selanjutnya, ada jenis kecemasan lain yang disebut kecemasan traumatis.
            Kecemasan dapat terjadi pada siapa saja, termasuk kepada siswa di sekolah. Oleh karena itu, untuk menentukan apakah seorang siswa menderita kegelisahan, pemeriksaan menyeluruh terhadap gejala atau tanda-tanda serta faktor-faktor risiko harus dilakukan. Namun, perlu dicatat bahwa gejala yang jelas hanyalah bagian dari masalah yang sebenarnya. Mereka adalah puncak gunung es; ada masalah yang lebih besar dan lebih kompleks di bawah permukaan.
Dari penjelasan yang telah dikemukakan di atas, maka penulis menyimpulkan bahwa siswa dengan kebutuhan khusus adalah siswa dengan karakteristik mental, sosial, emosional, atau fisik yang secara khusus berbeda dari siswa normal.  Sedangkan kecemasan adalah respons emosional terhadap pandangan yang dirasakan, menunjukkan perasaan takut, gugup, dan tidak aman disertai dengan berbagai respons fisik. Kecemasan ini berkembang karena pengalaman masa kecil ancaman dan hukuman yang diterima dari orang tua atau orang dengan otoritas ketika subjek bertindak impulsive.
Kekhususan yang dimiliki oleh anak-anak seharusnya tidak menjadi batasan bagi mereka untuk mengembangkan bakat dan potensi. Karena itu, memperhatikan perkembangan dan pendidikan bagi Anak Berkebutuhan Khusus menjadi urusan yang penting, terutama bagi orang tua. Di Indonesia, lebih dari satu juta ABK tidak mengenyam pendidikan di sekolah (Data Badan Pusat Statistik, 2016). Hal ini semakin mengukuhkan peran penting orang tua untuk membantu ABK mengembangkan potensi ABK tanpa dibatasi oleh kekhususan yang dimiliki anak. Salah satu langkah pertama yang dapat dilakukan oleh orang tua ABK adalah identifikasi kekhususan dan kebutuhan anak. Dengan memahami kondisi anak, orang tua dapat memberikan perawatan yang tepat dan menjadi jembatan bagi ABK untuk mengoptimalkan potensi diri






Daftar Pustaka

Group, Inc. Anastasi, Anne & Urbina, Susana. (2007). Psychological testing, terjemahan Robertus HarionoS. Imam, Tes psikologi. Jakarta: Indeks.
Garnida,   Dadang.   2017.   Modul   Pembinaan   Karier   Guru   Tunagrahita   Kelompok Kompetensi A, Pedagogik: Karakteristik Anak Berkebutuhan Khusus Profesional: Konsep   Dasar   Program   Pengembangan   Diri   Anak   Tunagrahita.   Bandung: PPPPTK TK dan PLB Bandung.
Lakshita,  Nattaya.  2012.  Belajar  Bahasa  Isyarat  untuk  Anak  Tunarungu  (Dasar). Yogyakarta: Javalitera
Mccoach, D. B, dkk. (2013). Instrument development in  the  affective  domain.  New York : Springer.
Setiawan, A, & Astuti W, Development of Children's Anxiety Test Special Needs, Proceeding International Seminar on Education, UST 2018, Yogyakarta.
Setiawan, A, & Fadil, Identifikasi Nilai-Nilai Sikap Sosial Pada Pembelajaran Tematik Sekolah Dasar, Prosiding Kongres HEPI 2017, Kalimantan Selatan: Banjarmasin
Setiawan, A, & Mardapi, D, The Development Of Instrument For Assessing Students’ Affective Domain Using Self- And Peer-Assessment Models, Prosiding Kongres HEPI 2017, Kalimantan Selatan: Banjarmasin
Setiawan, A, & Mardapi, D, The Development Of Instrument For Assessing Students’ Affective Domain Using Self- And Peer-Assessment Models, Prosiding Seminar Internasional UST 2017, Yongyakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Rev 2 WijiAstuti Implementation of Environmental Education

Implementation of Environmental Education by :WijiAstuti Adiwiyata is one of the key programs of the Ministry of Environment aimed a...